Subscribe:

Welcome

Sabtu, 17 November 2012

Menyambut Kelahiran Bayi Secara Islami

Pembahasan singkat berikut ini adalah beberapa amalan yang disunnahkan untuk dilakukan setelah anak lahir, namun banyak tidak diamalkan oleh kaum muslimin.

1. Bersyukur kepada Allah.
Apabila sepasang suami isteri telah dikaruniai anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah keduanya bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya. Tidak boleh merasa kecewa atas apa pun keadaan si buah hati, namun hendaklah bersyukur dan bersabar. 
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” [Al-Baqarah : 152]
2. Mentahnik.
Ketika si buah hati telah dilahirkan, maka seorang ayah hendaknya mentahnik langit-langit mulut si bayi dengan buah kurma yang telah dilumatkan.

3. Mendo’akan.
Kemudian do’akanlah buah hati Anda dengan kebaikan dan keberkahan. 
“Semoga Allah memberikan berkah atasnya.”
4. Memberikan nama.
Seorang ayah dibolehkan memberikan nama kepada si buah hati pada saat ia dilahirkan atau pada hari ketujuh.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Telah dilahirkan bagiku seorang anak laki-laki, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memberinya nama Ibrahim. Lalu beliau mentahniknya dengan sebuah kurma dan mendo’akan keberkahan baginya. Kemudian beliau menyerahkannya kembali kepadaku.”[1]

Sangat dianjurkan untuk memberikan nama-nama yang baik, indah dan dicintai Allah Ta’ala bagi si buah hati. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” [2]
Termasuk nama-nama yang dicintai adalah nama-nama para Nabi dan Rasul. Hal ini berdasarkan jawaban Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat tentang nama Harun saudara Maryam, padahal Maryam tidak sezaman dengan Nabi Harun dan Harun saudara Maryam bukanlah Nabi Harun, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya mereka biasa menamakan (anak-anak mereka) dengan nama-nama Nabi dan orang-orang shalih yang hidup sebelum mereka.” [3]
5. ’Aqiqah
Kemudian pada hari ketujuh, disunnahkan bagi kedua orang tua untuk meng’aqiqahi anaknya, mencukur rambutnya dan diberikan nama.

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya. Disembelih (kambing) untuknya ada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama.”[4]
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng’aqiqahi al-Hasan dan al-Husain pada hari ketujuh.” [5]

‘Aqiqah hanya boleh dengan kambing. Bagi anak laki-laki disembelih dua ekor kambing, sedangkan bagi anak perempuan disembelih seekor kambing. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bayi laki-laki di’aqiqahi dengan dua ekor kambing dan bayi perempuan dengan seekor kambing.”[6]
Bagi orang tua yang tidak mampu, maka tidak mengapa ber’aqiqah dengan seekor kambing untuk anak laki-laki. Hal ini sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng’aqiqahi al-Hasan dengan seekor kambing dan al-Husain dengan seekor kambing.” [7]

Jenis kelamin kambing ‘aqiqah adalah boleh jantan atau pun betina. Hal ini berdasarkan hadits yang di-riwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2835), at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya.

Persyaratan kambing ‘aqiqah tidak sama dengan kambing kurban. 

• Bacaan ketika menyembelih kambing ‘aqiqah
Pertama: Wajib membaca “bismillah” berdasarkan firman Allah Ta’ala.
“Dan janganlah kamu memakan dari (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebutkan Nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan.” [Al-An’aam : 121]
Kedua: Boleh juga dengan membaca.

بِسْمِ اللهِ، اَللهُ أَكْبَرُ.
“Dengan menyebut Nama Allah, Allah Mahabesar.”

‘Aisyah berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sembelihlah dengan menyebut Nama Allah dan ucapkanlah.

بِسْمِ اللهِ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ، هَذِهِ عَقِيْقَةُ فُلاَنٍ.

"Dengan menyebut Nama Allah, Allah Mahabesar. Ya Allah, sembelihan ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ini adalah ‘aqiqah si Fulan.’” [12]
Tidak boleh melumuri kepala bayi dengan darah kambing ‘aqiqah. Perbuatan ini merupakan amalan bid’ah serta perbuatan kaum Jahiliyyah.

Boleh memotong atau mematahkan tulang kambing sembelihan ‘aqiqah, sebagaimana yang lainnya.

Orang tua yang ber’aqiqah boleh makan dagingnya, bersedekah, memberi makan orang lain, atau meng-hadiahkan kepada kaum muslimin. Boleh membagikan daging yang belum dimasak, akan tetapi yang afdhal (lebih utama) adalah dimasak terlebih dahulu.[13]

Bagi orang dewasa yang belum di’aqiqahi pada waktu bayinya, tidak ada tuntunan dari syara’ untuk meng’aqiqahi dirinya sendiri. Hal ini karena lemahnya hadits yang berkenaan dengan hal tersebut.

6. Mencukur rambut pada hari ketujuh dan bersedekah.
Disunnahkan mencukur rambut secara merata, yaitu digundul (dibotak), lalu bersedekah senilai dengan perak seberat rambutnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah.
“Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya kepada orang-orang miskin.” [14]
7. Khitan
Khitan adalah memotong atau tempat memotong kulit yang menutupi kepala dzakar laki-laki dan memotong atau tenpat memotong kulit yang menyerupai jengger ayam yang berada di atas farji perempuan (kelentit).[15]
“Fitrah itu ada lima hal: khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak.” [16]
Makna fitrah dalam hadits ini adalah sunnah, yakni kelima hal tersebut menjadi sunnahnya para Nabi dan Rasul yang diakhiri dengan kenabian dan kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[17]

Imam al-Khaththabi berkata, “Adapun khitan, maka sebagian ulama mengatakan wajib karena ia adalah bagian dari syi’ar agama, yang dengannya diketahui seorang muslim atas kafir.” [19] Kewajiban khitan bersifat umum untuk laki-laki dan perempuan berdasarkan banyaknya riwayat tentang dikhitannya perempuan pada zaman Nabi dan selanjutnya hingga hari ini.

Di antara riwayat yang menyebutkan khitan bagi perempuan adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Atiyah, 
“Apabila engkau mengkhitan (perempuan), maka potonglah sebagian kelentitnya, janganlah engkau memotong semuanya. Karena yang demikian itu dapat membaguskan wajah dan lebih baik bagi suami.” [20]
Mengenai waktu mengkhitan bayi tidak ada satu dalil pun yang shalih dan sharih (jelas) yang menentukan waktunya dengan pasti. Sebagian ulama berpendapat tentang disukainya mengkhitan anak laki-laki sebelum berusia tujuh tahun. Hal ini berdasarkan pada perintah syari’at agar menyuruh anak kecil untuk shalat ketika umur mereka tujuh tahun.

Imam al-Mawardi rahimahullaah berkata, “Khitan memiliki dua waktu; waktu yang wajib dan waktu yang mustahab (dianjurkan). Adapun waktu yang wajib adalah ketika sudah baligh dan waktu yang mustahab adalah sebelum baligh, dan boleh memilih pada hari ketujuh dari kelahirannya. Dan dianjurkan agar tidak mengakhirkan dari waktu yang mustahab, kecuali karena ada udzur.”[21] Ini untuk waktu khitan bagi anak laki-laki, sedang-kan bagi anak perempuan biasanya dilakukan beberapa setelah kelahirannya.[22]

Apabila seorang laki-laki atau perempuan belum dikhitan sampai dewasa karena tidak mengetahui hukum wajibnya atau keduanya baru masuk Islam, maka keduanya tetap berkewajiban untuk berkhitan. Ini adalah jawaban seluruh ahli ilmu.[23]

Beberapa manfaat khitan: [24]
1. Mengikuti Sunnah para Nabi dan Rasul.
2. Khitan merupakan syi’ar Islam yang agung.
3. Khitan sebagai pembeda antara muslim dan kafir.
4. Khitan sebagai kebersihan dari kotoran dan najis.
5. Khitan pada wanita yang dilakukan sesuai Sunnah dapat menstabilkan syahwatnya, mempercantik wajah, dan terhormat di sisi suaminya.


Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, http://almanhaj.or.id

0 komentar:

Posting Komentar